I Wayan Kariarta, S.Fil.H., M.Ag

Akademisi STAHN Mpu Kuturan Singaraja

Arsitektur Bali dikenal luas bukan hanya sebagai warisan estetika, tetapi juga sebagai sistem pengetahuan tradisional yang mendalam. Keindahan rumah adat, pura, dan tata ruang pekarangan Bali tidak dapat dilepaskan dari landasan filosofis, kosmologis, dan ritual yang membentuknya. Salah satu pedoman utama dalam arsitektur tradisional Bali adalah Lontar Asta Kosala Kosali. Naskah kuno ini bukan hanya memuat aturan teknis pembangunan rumah dan bangunan suci, tetapi juga menguraikan filosofi hidup masyarakat Bali, di mana ruang fisik dipandang sebagai cerminan kosmos dan tubuh manusia.

Dalam pandangan saya, bentuk bangunan Bali sebagaimana digariskan dalam Asta Kosala Kosali merupakan sebuah teks budaya yang menghubungkan aspek material dengan spiritual. Ia tidak sekadar menjadi acuan arsitektur, melainkan pedoman moral dan sosial yang merefleksikan pandangan dunia masyarakat Bali.

Konsep Dasar Asta Kosala Kosali

Secara etimologis, Asta berarti delapan, Kosala berarti rumah, dan Kosali berarti tata cara membangun. Dengan demikian, Asta Kosala Kosali dapat dipahami sebagai pedoman delapan aspek pembangunan rumah dan pekarangan yang benar menurut aturan tradisional.

Naskah ini menekankan bahwa pembangunan rumah tidak hanya menyangkut dimensi teknis seperti ukuran, arah, atau material, tetapi juga terkait dengan dimensi kosmologis, sosial, dan etis. Hal yang paling menonjol dalam teks ini adalah penggunaan ukuran tubuh pemilik rumah sebagai standar dalam pengukuran bangunan. Konsep ini disebut tala, yang dihitung berdasarkan ukuran tubuh individu seperti depa (rentangan tangan), hasta (panjang siku), musti (genggaman tangan), dan tapak dara (jejak kaki). Dengan demikian, setiap rumah di Bali memiliki ukuran yang unik karena disesuaikan dengan tubuh pemiliknya.

Prinsip pengukuran berbasis tubuh manusia ini menunjukkan adanya konsep antropokosmos, yakni kesadaran bahwa manusia adalah pusat dari perwujudan jagat raya dalam skala mikro. Bangunan menjadi representasi tubuh manusia yang sekaligus menjadi bagian dari tubuh kosmos.

Orientasi Ruang: Tri Mandala dan Sanga Mandala

Bentuk bangunan masyarakat Bali mengikuti prinsip Tri Mandala dan Sanga Mandala.

  1. Tri Mandala
    • Utama Mandala: area paling suci, biasanya ditempati pura keluarga atau sanggah kemulan.
    • Madya Mandala: area tengah, dipakai untuk kegiatan sehari-hari, termasuk bangunan bale.
    • Nista Mandala: area terluar, biasanya dipakai untuk kegiatan yang bersifat profan seperti dapur atau lumbung.

Konsep ini menunjukkan adanya hierarki kesucian dalam ruang, di mana setiap aktivitas manusia ditempatkan sesuai dengan tingkat spiritualitasnya.

  1. Sanga Mandala
    Prinsip ini membagi ruang pekarangan ke dalam sembilan arah mata angin. Setiap arah dikaitkan dengan dewa penguasa tertentu, misalnya timur dengan Dewa Iswara, selatan dengan Dewa Brahma, barat dengan Dewa Mahadeva, dan seterusnya. Hal ini menegaskan bahwa pekarangan Bali adalah miniatur jagat raya, di mana setiap arah menjadi pusat energi kosmis.

Dengan demikian, setiap bangunan dalam pekarangan tidak ditempatkan sembarangan. Posisi bale, dapur, lumbung, hingga pura keluarga memiliki makna kosmologis yang erat kaitannya dengan keselarasan antara manusia, alam, dan Tuhan.

Unsur-Unsur Bangunan dalam Pekarangan Bali

Dalam Asta Kosala Kosali, pekarangan rumah Bali disebut karang umah. Karang umah ini dibagi ke dalam unit-unit ruang dengan fungsi dan simbolisme tertentu. Beberapa unsur pokok antara lain:

  1. Sanggah Kemulan / Merajan
    • Terletak di utama mandala, yaitu arah timur laut.
    • Berfungsi sebagai tempat pemujaan leluhur.
    • Keberadaannya menegaskan bahwa kehidupan keluarga Bali selalu terikat pada siklus spiritual dan genealogis.
  2. Bale Daja
    • Terletak di bagian utara pekarangan.
    • Dipakai sebagai tempat tidur orang tua atau kepala keluarga.
    • Melambangkan penghormatan terhadap kedudukan orang tua sebagai penjaga keseimbangan keluarga.
  3. Bale Dangin
    • Berada di sisi timur pekarangan.
    • Digunakan untuk upacara keagamaan, termasuk pawiwahan (pernikahan).
    • Menjadi simbol pertemuan antara dunia profan dengan dunia sakral.
  4. Bale Dauh
    • Terletak di sisi barat.
    • Dipakai sebagai ruang tamu dan aktivitas sosial.
    • Melambangkan keterbukaan rumah terhadap dunia luar.
  5. Bale Delod / Bale Meten
    • Terletak di selatan.
    • Dipakai untuk aktivitas sehari-hari, termasuk tempat tidur anggota keluarga lain.
    • Menunjukkan sisi pragmatis kehidupan domestik.
  6. Paon (Dapur)
    • Biasanya berada di sudut barat daya.
    • Selain fungsi praktis, dapur juga dianggap tempat sakral karena api merupakan manifestasi Dewa Brahma.
  7. Lumbung atau Jineng
    • Bangunan kecil untuk menyimpan padi.
    • Melambangkan kemakmuran dan keberlanjutan hidup.

Setiap elemen ini saling terkait, sehingga pekarangan rumah Bali bukan sekadar ruang fungsional, tetapi juga representasi dari struktur sosial, spiritual, dan kosmologis.

Simbolisme Tubuh Manusia

Lontar Asta Kosala Kosali mengibaratkan pekarangan rumah sebagai tubuh manusia. Kepala diibaratkan dengan sanggah kemulan, jantung dengan natah (halaman tengah), tangan dengan bale sisi timur dan barat, sementara kaki diibaratkan dengan bagian selatan tempat dapur berada.

Simbolisme ini memperkuat gagasan bahwa rumah Bali adalah “tubuh kedua” bagi pemiliknya. Tinggal di rumah berarti berada dalam harmoni dengan tubuh kosmis yang lebih besar, sehingga setiap aktivitas manusia tidak pernah terlepas dari keteraturan semesta.

Dimensi Sosial dan Kultural

Bentuk bangunan Bali tidak dapat dilepaskan dari struktur sosial masyarakatnya. Pekarangan rumah bukan sekadar milik individu, tetapi bagian dari jaringan yang lebih besar: banjar, desa adat, hingga pura kahyangan tiga.

Secara sosial, tata letak bangunan mencerminkan nilai komunalitas. Misalnya, natah sebagai halaman tengah bukan hanya ruang keluarga, tetapi juga tempat berkumpul tetangga saat ada upacara. Begitu pula bale dangin, yang sering dipakai untuk acara adat sehingga memperkuat solidaritas sosial.

Selain itu, bentuk bangunan Bali mencerminkan stratifikasi sosial. Meskipun prinsip dasar Asta Kosala Kosali sama, detail arsitektural seperti ornamen, jumlah bale, atau luas pekarangan dapat berbeda sesuai dengan kasta, status ekonomi, atau kedudukan sosial pemilik rumah. Dengan demikian, arsitektur Bali adalah teks sosial yang dapat dibaca untuk memahami dinamika kelas dalam masyarakat.

Dimensi Ekologis

Hal menarik lain adalah bahwa arsitektur Bali berlandaskan prinsip keberlanjutan. Material bangunan diambil dari lingkungan sekitar, seperti batu padas, kayu, bambu, ijuk, dan tanah liat. Orientasi bangunan yang memperhatikan arah angin dan cahaya matahari juga menunjukkan kearifan ekologis.

Penempatan dapur di barat daya misalnya, bukan hanya pertimbangan spiritual tetapi juga ekologis: posisi ini membuat asap dapur tidak mengganggu aktivitas keluarga dan tetap terbuang ke arah yang benar. Demikian pula, adanya natahsebagai halaman tengah memungkinkan sirkulasi udara yang sehat.

Dengan kata lain, Asta Kosala Kosali dapat dilihat sebagai panduan arsitektur ekologis yang jauh mendahului konsep green architecture modern.

Leave a comment