Oleh
Dr. I Putu Mardika, S.Pd., M.Si.
Akademisi dan Peneliti Antropologi Budaya
STAHN Mpu Kuturan Singaraja

Di tengah riuh perbedaan dan potensi gesekan sosial yang muncul di ruang publik Indonesia, dua kata penting semakin relevan digaungkan: moderasi dan toleransi. Keduanya adalah prasyarat kehidupan damai dalam masyarakat yang plural. Namun, penting untuk menegaskan: moderasi dan toleransi bukanlah nilai impor dari luar, melainkan telah lama hidup dan dihayati dalam kearifan lokal masyarakat Nusantara.

Kita tidak kekurangan nilai-nilai asli yang mengajarkan keseimbangan, keterbukaan, dan penghormatan terhadap perbedaan. Kearifan lokal—yang lahir dari pengalaman panjang hidup bersama dalam keragaman budaya, agama, dan keyakinan—adalah fondasi kokoh untuk membumikan semangat moderasi dan toleransi dalam kehidupan kebangsaan kita hari ini.

Moderasi dan Toleransi: Bukan Sekadar Slogan

Dalam konteks kebijakan publik, istilah moderasi kerap digunakan dalam kampanye deradikalisasi atau penguatan wawasan kebangsaan. Sementara toleransi sering kali dikaitkan dengan harmoni antarumat beragama. Namun bila hanya dimaknai sebatas program formal atau jargon politik, nilai-nilai luhur ini akan kehilangan makna sejatinya.

Moderasi, dalam pandangan antropologi budaya, adalah kemampuan menjaga keseimbangan antara ekstrem-ekstrem yang saling berseberangan—antara tradisi dan perubahan, antara identitas dan keterbukaan. Moderasi bukanlah sikap setengah hati, tetapi jalan tengah yang sadar dan bijak, demi menghindari dominasi satu pandangan atas yang lain.

Sedangkan toleransi bukan berarti menahan diri secara pasif, apalagi sekadar bersikap permisif. Toleransi adalah praktik aktif dalam merayakan perbedaan, membangun dialog, dan menghormati keberadaan liyan sebagai bagian dari diri kolektif kita sebagai bangsa.

Keduanya hanya mungkin hidup dan mengakar bila dikontekstualisasikan dengan realitas sosial-budaya yang khas Indonesia. Di sinilah kearifan lokal menjadi instrumen penting.

Kearifan Lokal: Modal Sosial yang Tangguh

Berbagai komunitas adat di Indonesia telah sejak lama membangun sistem sosial dan nilai-nilai yang menekankan keseimbangan, harmoni, dan kebersamaan. Dalam budaya Bali, dikenal konsep Rwa Bhineda—dua hal yang berbeda namun saling melengkapi. Ini bukan sekadar filosofi, tapi menjadi landasan etis untuk menerima perbedaan tanpa perlu meniadakan yang lain.

Konsep Tri Hita Karana menekankan pentingnya menjaga harmoni antara manusia dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam semesta. Dalam konteks hubungan sosial, ini menjadi etika dasar yang melarang kekerasan, mengedepankan dialog, dan menolak sikap ekstrem.

Di Tana Toraja, praktik Aluk Todolo memuat prinsip moderasi dalam hubungan antar manusia dan antara manusia dengan roh leluhur. Di Minangkabau, pepatah “adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah” bukan hanya menunjukkan relasi agama dan budaya, tetapi juga menjadi prinsip hidup berdampingan antara nilai-nilai adat dan agama yang berbeda dalam satu komunitas.

Kita juga bisa belajar dari masyarakat Tengger di Jawa Timur yang merayakan toleransi melalui upacara Kasada, di mana dukun agama lokal dan tokoh Hindu bekerja sama dalam ritual pengorbanan suci di kawah Gunung Bromo, tanpa eksklusivisme keyakinan.

Semua ini menunjukkan bahwa praktik moderasi dan toleransi telah berlangsung lama dalam kerangka budaya lokal. Kearifan ini terinternalisasi melalui adat, simbol, narasi, dan praktik keseharian. Ia bukan produk wacana formal negara, tapi hasil perjumpaan historis antar komunitas dalam ruang hidup yang sama.

Tantangan Globalisasi dan Polarisasi

Sayangnya, warisan kearifan lokal ini tengah menghadapi tantangan serius. Arus globalisasi dan dominasi teknologi informasi membuat ruang-ruang sosial kita makin terfragmentasi. Polarisasi politik, ekstremisme agama, dan ujaran kebencian di media sosial memperlemah jalinan sosial yang sebelumnya kokoh di tingkat lokal.

Masyarakat mulai terbelah dalam identitas sempit. Keberagaman yang dulu dirayakan bersama, kini kerap dicurigai atau bahkan dimusuhi. Ini menunjukkan bahwa moderasi dan toleransi tidak bisa terus diasumsikan ada; ia perlu diperkuat secara sadar dan sistematis, baik melalui pendidikan, kebijakan publik, maupun gerakan kultural.

Revitalisasi Kearifan Lokal

Dalam konteks ini, revitalisasi kearifan lokal menjadi strategi kultural yang signifikan. Kita tidak bisa mengandalkan narasi tunggal dari negara atau elite untuk membangun toleransi. Sebaliknya, perlu upaya dari bawah—dari komunitas lokal, pemuka adat, tokoh budaya, hingga masyarakat sipil—untuk kembali menghidupkan nilai-nilai lokal yang menjunjung keberagaman dan keterbukaan.

Revitalisasi ini tidak berarti kembali ke masa lalu, tetapi mentransformasikan nilai lama dalam bahasa dan konteks baru. Nilai ngayah (kerelawanan) di Bali, misalnya, bisa menjadi dasar gerakan sosial lintas identitas. Konsep musyawarahdalam tradisi desa di Jawa bisa menjadi model penyelesaian konflik digital di era post-truth. Kegiatan adat seperti mapalus di Minahasa dapat menjadi inspirasi kolaborasi komunitas lintas agama.

Peran akademisi, seniman, pegiat budaya, dan pendidik sangat strategis dalam proses ini. Mereka bisa menggali, mendokumentasikan, dan menyebarkan narasi-narasi lokal yang mempromosikan toleransi. Konten budaya, cerita rakyat, puisi, seni pertunjukan, dan digital storytelling bisa menjadi media baru untuk memperluas pengaruh nilai-nilai moderat.

Pendidikan Moderasi Berbasis Budaya

Salah satu langkah konkret yang perlu didorong adalah integrasi nilai-nilai kearifan lokal dalam kurikulum pendidikan. Pendidikan tidak boleh sekadar menjadi tempat transmisi ilmu, tapi juga pembentukan karakter sosial yang toleran dan inklusif.

Pelajaran sejarah lokal, bahasa daerah, budaya komunitas, serta praktik upacara adat bisa diperkenalkan sebagai bentuk internalisasi nilai-nilai kebersamaan dan kesetaraan. Kampus dan sekolah harus menjadi ruang aman bagi keberagaman, tempat perbedaan bukan untuk dipertentangkan, melainkan dipelajari dan dipahami.

Di era digital, pendidikan toleransi juga bisa diperluas melalui platform daring. Narasi budaya lokal yang mengusung pluralitas bisa dikemas dalam format video kreatif, podcast, atau kampanye media sosial yang ramah generasi muda.

Penutup: Menjadi Bangsa yang Dewasa secara Budaya

Menjadi bangsa yang majemuk bukanlah perkara mudah. Ia membutuhkan kedewasaan budaya, keberanian untuk hidup berdampingan dalam perbedaan, dan kesadaran bahwa kemajemukan adalah kekuatan, bukan ancaman.

Moderasi dan toleransi adalah jalan panjang yang memerlukan komitmen bersama. Tetapi kita punya modal kultural yang besar: warisan leluhur yang mengajarkan hidup rukun, musyawarah, dan saling menghargai. Kearifan lokal bukan hanya pelengkap identitas, tetapi bisa menjadi jalan utama membangun masa depan Indonesia yang lebih damai dan beradab.

Ketika nilai-nilai itu kita rawat dan aktualisasikan, kita tidak hanya menjaga tradisi, tetapi juga sedang menjaga Indonesia.

Leave a comment