I Wayan Titra Gunawijaya

Akademisi STAHN Mpu Kuturan Singaraja

Ketika seseorang menyebut kata Bali, hampir setiap orang di dunia langsung membayangkan pura, canang sari, gamelan, tarian, serta upacara-upacara keagamaan yang penuh warna. Gambaran itu tidak lahir dari kebetulan, melainkan dari kebudayaan Hindu yang telah berakar kuat di tanah Bali selama berabad-abad. Kebudayaan ini bukan hanya sekadar tradisi, melainkan sebuah warisan luhur yang mengikat kehidupan masyarakat Bali dengan dharma, dengan Tuhan, dengan alam, dan dengan sesama manusia.

Kebudayaan Hindu yang berkembang di Bali tampak dalam setiap gerak kehidupan sehari-hari. Pagi hari, hampir di setiap rumah tangga, seorang ibu menata canang sari di pelinggih, di pekarangan, bahkan di trotoar jalan. Asap dupa perlahan mengepul, membawa doa ke angkasa. Simbol-simbol sederhana itu — bunga, janur, beras, dan dupa — adalah perwujudan rasa syukur. Sloka Bhagavadgita IX.26 mengingatkan: “Patram pushpam phalam toyam, yo me bhaktyā prayacchati; tad aham bhakty-upahṛtam, aśnāmi prayatātmanaḥ”, yang berarti bahwa Tuhan menerima daun, bunga, buah, atau air yang dipersembahkan dengan penuh bhakti. Inilah jiwa dari kebudayaan Hindu Bali: kesederhanaan, ketulusan, dan pengabdian.

Namun, kebudayaan Hindu di Bali bukan hanya tentang upacara kecil sehari-hari. Ia juga hadir dalam tarian sakral seperti Rejang Dewa atau Sanghyang Dedari, yang ditarikan bukan untuk hiburan, melainkan sebagai persembahan kepada Sang Hyang Widhi Wasa. Musik gamelan yang mengiringi bukan sekadar bunyi, melainkan gema kosmis yang dijelaskan dalam Lontar Aji Gurnita. Setiap denting gong, setiap tabuhan kendang, diyakini sebagai simbol harmoni alam semesta. Kebudayaan ini menyatukan seni dengan spiritualitas, sehingga setiap gerakan tari, setiap bunyi gamelan, dan setiap ukiran di pura selalu memiliki makna filosofis.

Warisan leluhur ini sejatinya adalah bentuk nyata dari ajaran Tri Hita Karana: menjaga hubungan selaras dengan Tuhan, sesama, dan alam. Pura-pura didirikan tidak hanya sebagai tempat suci, tetapi juga sebagai pusat kehidupan sosial dan budaya. Sistem irigasi subak, yang diakui UNESCO sebagai warisan dunia, adalah contoh lain bagaimana kebudayaan Hindu Bali mampu mengharmoniskan hubungan manusia dengan alam. Air bukan hanya sumber kehidupan, tetapi juga anugerah yang disucikan, sehingga pembagiannya diatur dengan penuh kebijaksanaan.

Namun, kebudayaan yang begitu kaya ini tidak lepas dari tantangan. Modernisasi dan globalisasi membawa gaya hidup baru yang kadang membuat generasi muda semakin jauh dari akar budaya. Tari sakral yang dahulu hanya dipentaskan di pura, kini kadang ditampilkan semata untuk wisatawan. Lontar-lontar yang berisi ajaran luhur jarang disentuh, padahal di dalamnya terdapat warisan kebijaksanaan. Manawa Dharmasastra II.156 menegaskan: “Sanskritir dharmamūlam hi, dharmo rakṣati rakṣitah; tasmad dharmo na hantavyo, mā no dharmo hato’vadhit” — budaya adalah akar dharma, dan dharma akan melindungi mereka yang melindunginya. Jika budaya dilupakan, maka dharma pun akan rapuh.

Itulah sebabnya kebudayaan Hindu di Bali harus selalu dilestarikan. Pelestarian tidak hanya tugas pemerintah atau lembaga adat, tetapi juga tanggung jawab setiap keluarga. Orang tua perlu mengenalkan anak-anak pada tarian, gamelan, dan lontar sejak kecil. Desa adat harus tetap menjadi benteng utama, menjaga kesucian upacara dan melindungi pura. Generasi muda bisa menggunakan teknologi untuk melestarikan budaya, misalnya dengan mendokumentasikan lontar secara digital atau memperkenalkan tarian sakral lewat media sosial tanpa menghilangkan kesakralannya.

Kitab suci Hindu juga mengingatkan pentingnya memberi teladan dalam melestarikan budaya. Bhagavadgita III.21 menyebut: “Yad yad ācarati śreṣṭhas, tat tad evetaro janah; sa yat pramāṇam kurute, lokas tad anuvartate”, yang berarti apa yang dilakukan orang besar akan diikuti oleh orang lain. Leluhur Bali telah memberi teladan dengan mewariskan kebudayaan Hindu yang kaya. Kini, tugas generasi sekarang adalah meneruskan teladan itu, agar dunia tetap mengenal Bali bukan hanya karena pantainya, tetapi juga karena kebudayaan Hindu yang luhur.

Bali tanpa kebudayaan Hindu bukanlah Bali yang dikenal dunia. Setiap tarian, setiap upacara, setiap lontar, adalah identitas yang membedakan Bali dari tempat lain. Oleh karena itu, melestarikan kebudayaan Hindu di Bali bukan hanya tentang menjaga tradisi, tetapi juga tentang menjaga jati diri. Ungkapan lontar berkata: “Tan hana dharma mangrwa” — dharma itu tidak mendua. Melestarikan budaya adalah bagian dari menjaga dharma itu sendiri. Selama dharma dijaga, Bali akan tetap bercahaya, dan kebudayaan Hindu akan terus hidup sebagai warisan yang tak ternilai, dari generasi ke generasi.

Leave a comment