
Penulis: Ida Bagus Gede Paramita
STAH Negeri Mpu Kuturan Singaraja
Beda dan Bina adalah dua kata yang bersumber dari Bahasa yang berbeda akan tetapi memiliki makna yang sama. Beda berasal dari Bahasa Indonesia sedangkan Bina berasal dari Bahasa sansekerta yang kemudian diserap menjadi bahasa Bali, yang secara harfiah bermakna ‘sesuatu yang menjadikan berlainan atau tidak sama’. Yang membedakan, kata beda adalah perbedaan atau ketidaksamaan yang muncul secara alamiah, sedangkan pada kata bina perbedaan dan ketidaksamaan muncul secara alamiah dan juga terdapat pengaruh konstruksi sosial masyarakat di dalamnya. Semisal, kita aplikasikan kata beda dan bina pada kata laki-laki dan perempuan. Secara biologis laki-laki dan perempuan adalah jenis kelamin yang berbeda (beda) sedangkan dalam bina selain laki-laki dan perempuan berbeda secara biologis, juga berbeda karena pengaruh konstruksi sosial masyarakat. Maksudnya, masyarakat Bali dengan sistem kekerabatan patrilineal selalu menempatkan posisi perempuan di bawah laki-laki tetapi di sisi lain perempuan diwajibkan untuk mampu menjalankan multiperan yang belum tentu bisa dilakukan oleh laki-laki.
Berdasarkan konstruksi berpikir di atas konsep beda dan bina layak diterapkan menjadi instrumen untuk merajut nilai moderasi beragama di Indonesia. Keragaman Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan (SARA) mengharuskan kita mempunyai formulasi untuk menumbuhkan kesadaran dan pemahaman bahwa keragaman yang kita miliki adalah aset yang harus kita rawat dan bukan diruwat (arti: “dibuang, dibersihkan”). Bahwa beda dan bina adalah konsep kearifan lokal yang sudah diimplementasikan dan teruji, baik dalam kehidupan sesama orang Bali (Hindu) maupun dengan orang luar Bali (non-Hindu) sehingga sampai kini tetap bisa hidup berdampingan dan harmoni. Muncul riak-riak kecil adalah dinamika yang harus kita sikapi secara arif bukan reaktif karena semua itu adalah proses pendewasaan bermasyarakat. Mendudukan SARA pada konsep beda adalah pilihan terbaik karena keragaman SARA adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa dipungkiri dan diingkari, memandang perbedaan sebagai suatu kondrati bukan dihianati.
Kesamaan paradigma seluruh komponen masyarakat dalam memandang konsep ini tentu melahirkan sikap-sikap toleran dalam memandang keragaman tersebut. Menarik SARA dalam konsep bina adalah sebuah keniscayaan pula, niscaya akan terjadi pergulatan, bergulat dengan sikap-sikap stereotif, etnosentrisme dan fanatisme. Fanatisme dalam setiap sendi kehidupan! Konsep bina akan menutup rapat pintu realistis dan membuka lebar pintu idealis. Dalam kehidupan bermasyarakat, apalagi bernegara sikap idealis haruslah dihindari karena akan melahirkan bibit-bibit kedengkian, ujaran kebencian, pertikaian, dan perpecahan antar anak bangsa. Apalagi sekarang ini, sikap-sikap semacam itu begitu cepat kita bisa sebar luaskan melalui media-media sosial. Kemudahan aksesbilitas internet juga menjadi faktor pendukung cepatnya daya sebar pemberitaan negatif di seluruh jagat maya yang tidak jarang direspon dijagat nyata dengan gerakan-gerakan, demo, boikot dan semacamnya yang terkadang damai tetapi lebih sering anarkis. Mengerikan! tapi itulah kenyataannya, banyak jejak digital perilaku fanatik yang mengarah ke anarkis yang masih bisa kita lacak. Dampak paling buruk adalah terjadinya polarisasi dan keterbelahan sosial pada masyarakat dan membutuhkan waktu untuk menyembuhkan dan memulihkan. Berat memang, tapi itulah kondisi sosial masyarakat Indonesia yang tetiba full power ketika ranah personal (SARA) diganggu oleh pihak luar.
Terbukti dan bisa diamati! sampai saat ini masyarakat Bali berdampingan dalam kehidupan bermasyarakat, mereka (orang Hindu dan non-Hindu) bahu-membahu, menyama braya (konsep tolong menolong di Bali) ketika ada upacara pada agama masing-masing. Umat Hindu ketika melaksanakan upacara, ngejot ke nyama slam (saudara yang beragama muslim) begitu sebaliknya orang islam ketika perayaan Idul Fitri ngejot pula ke nyama Bali. Ngejot adalah tradisi turun temurun membawakan makanan untuk menjalin dan mempererat jalinan persaudaraan. Kegiatan semacam ini bisa kita jumpai di kampung islam yang ada di wilayah Pegayaman Singaraja.
Ornamen bangunan masjid maupun gereja di Bali juga mengikuti ornamen bangunan di Bali sebagai bentuk penghargaan dan penghormatan. Ketika melaksanakan peribadatan masyarakat Bali juga saling bahu membahu, termasuk ketika beberapa kali Nyepi jatuh pada hari jumat dan umat islam diberikan kesempatan untuk pergi ke masjid melaksanakan ibadah. Selain itu di daerah Nusa Dua ada Pusat Peribadatan bernama Puja Mandala, setidaknya terdapat lima tempat ibadah dalam satu kawasan yakni masjid Agung Ibnu Batutah, Gereja Katolik Maria Bunda Segala Bangsa, Wihara Budhida Guna, Gereja Kristen Bukit Doa dan Pura Jagatnata. Adanya pusat peribadatan ini membuktikan tingkat toleransi antar umat beragama di Bali sudah berjalan dengan baik. Di Kubutambahan Buleleng ada pura Gambur Anglayang atau sering disebut dengan Pura Pancasila. Setidaknya, terdapat 8 pelinggih (tempat pemujaan Hindu) yang mencerminkan unsurkeberagaman masyarakat yang ada di sana. Penamaan pelinggih di pura tersebut cukup unik karena mencerminkan keragaman agama dan etnis, seperti pelinggih Ratu Bagus Sundawan dari unsur suku Sunda, Ratu Ayu Syahbandar dan Ratu Manik Mas sebagai suku Tionghoa atau Budha, Ratu Gede Siwa mencerminkan unsur Hindu dan Ratu Gede Mekah mencerminkan unsur Muslim.
Termasuk dalam tradisi agraris orang Bali pun mereka bisa hidup berdampingan dan harmonis, ambilah contoh di Desa Tegallinggah Sukasada Buleleng terdapat Pura Subak Wingin yang diusung oleh dua umat beragama yaitu umat beragama Hindu dan umat beragama Islam. Pura Subak ini sendiri sudah ada sejak tahun 1970-an yang kala itu masyarakat setempat (umat Hindu dan Islam) kekurangan air karena musim kemarau berkepanjangan sehingga bersama-sama membangun subak dengan sumber air yang berasal dari pegunungan. Sebagai pengingat dibangunlah pura Subak Wingin dan di area yang sama juga terdapat masjid tempat umat islam melaksanakan ibadah. Mereka hidup berdampingan dan harmonis hingga saat ini dan belum pernah berkonflik sekalipun Contoh kasus di atas memberikan kita sebuah gambaran bahwa pada dasarnya agama harus kita pandang dan tempatkan pada wilayah beda artinya agama bukan topik yang harus diperdebatkan karena secara alamiah memang berbeda dan tidak mungkin bisa kita seragamkan.
Agama menyangkut keyakinan dan hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhan. Ketika konsep ini bisa ditempatkan dengan benar, maka nilai moderasi akan bertumbuh dengan dasar kesadaran bukan paksaan, Bali adalah laboratorium bagaimana menyaksikan moderasi itu bertumbuh dan hidup dengan harmoni antar suku, ras, agama dan golongan yang berbeda, bukan hanya simulakra!. Hanya dengan konsep sederhana penuh makna, yang tidak pernah tersentuh apalagi tertulis, tapi menyala dalam praktik, yakni bisa memposisikan beda dan bina dengan benar!