
I Wayan Kariatra, S.Fil.H., M.Ag
Akademisi STAHN Mpu Kuturan Singaraj
Upacara Ngusabha merupakan salah satu tradisi penting dalam kehidupan masyarakat Hindu di Bali. Kata ngusabhaberasal dari istilah sabha yang berarti rapat atau pertemuan, tetapi dalam praktiknya memiliki makna lebih luas, yaitu pertemuan sakral antara manusia, masyarakat, dan Tuhan melalui rangkaian ritual yang diatur oleh desa adat maupun subak. Dalam upacara ini, masyarakat berkumpul, mempersiapkan sarana upacara, mengatur jalannya prosesi, dan bersama-sama memohon keselamatan, kesejahteraan, serta kesuburan hidup.
Bila ditinjau dari ajaran Hindu, Ngusabha bukan hanya sekadar tradisi budaya, tetapi merupakan wujud nyata dari implementasi ajaran Weda. Weda sebagai kitab suci umat Hindu memuat ajaran tentang keteraturan kosmik (ṛta), pentingnya yadnya (persembahan suci), serta kewajiban manusia untuk menjaga hubungan harmonis dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam semesta. Ajaran ini dalam konteks Bali sering diterjemahkan dalam filosofi Tri Hita Karana—tiga penyebab kebahagiaan yang mencakup hubungan harmonis dengan Tuhan (parhyangan), sesama manusia (pawongan), dan alam (palemahan).
Ngusabha dalam Kehidupan Desa
Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Bali, Ngusabha memiliki berbagai bentuk sesuai dengan konteks lokal. Ngusabha Desa biasanya dilaksanakan di pura desa untuk memohon keselamatan, ketertiban, dan keharmonisan hidup masyarakat desa. Seluruh warga atau krama desa terlibat dalam persiapan, mulai dari membuat banten (sesajen), menghaturkan doa, hingga menggelar tari-tarian sakral. Prosesi ini bukan hanya sarana komunikasi spiritual dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, tetapi juga sarana membangun solidaritas sosial antarwarga.
Selain itu ada Ngusabha Nini, yang erat kaitannya dengan kehidupan pertanian. Upacara ini dilaksanakan oleh kelompok subak, yaitu organisasi tradisional pengairan di Bali yang mengatur sawah dan irigasi. Dalam Ngusabha Nini, masyarakat membuat boneka dari padi yang disebut nini sebagai simbol Dewi Sri, dewi kesuburan dan sumber pangan. Boneka padi itu kemudian dihaturkan bersama sesajen lain untuk memohon kesuburan tanah, kelancaran air, dan hasil panen yang melimpah. Melalui ritual ini, masyarakat menunjukkan penghormatan pada alam sekaligus mengungkapkan kesadaran bahwa manusia sangat bergantung pada anugerah bumi.
Di beberapa tempat, terdapat variasi lain seperti Ngusabha Dodol di Karangasem, atau Ngusabha Puseh di Bangli. Setiap bentuk Ngusabha memiliki kekhasan lokal, namun pada dasarnya semua berakar pada satu nilai yang sama: menjaga keteraturan hidup sesuai dengan ajaran Weda.
Ajaran Weda dalam Ngusabha
Pelaksanaan Ngusabha dapat dipahami sebagai pengamalan ajaran Weda, terutama dalam konsep pañca yadnya, yaitu lima jenis persembahan suci.
- Dewa Yadnya – persembahan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan manifestasi-Nya. Dalam Ngusabha, bentuknya terlihat dari doa, sesajen, dan tarian sakral yang dipersembahkan di pura.
- Pitra Yadnya – penghormatan kepada leluhur. Kehadiran leluhur diakui dalam upacara Ngusabha, karena desa adat meyakini roh leluhur turut menjaga kehidupan masyarakat.
- Rsi Yadnya – penghormatan kepada guru atau resi. Upacara Ngusabha tidak jarang melibatkan pemangku atau sulinggih, yang menunjukkan rasa hormat kepada tokoh spiritual sebagai pewaris ajaran Weda.
- Manusa Yadnya – persembahan untuk sesama manusia. Ngusabha mengikat solidaritas sosial, mengajarkan gotong royong, dan mendidik generasi muda tentang nilai-nilai keagamaan.
- Bhuta Yadnya – persembahan kepada makhluk lain dan kekuatan alam. Sesajen dan upacara dalam Ngusabha juga dipersembahkan kepada bhuta kala atau energi alam agar tidak mengganggu keseimbangan hidup.
Dalam Rigveda (X.90), dijelaskan bahwa seluruh alam semesta adalah bagian dari pengorbanan kosmis (purusha sukta). Hal ini memberi dasar filosofis bahwa segala tindakan yadnya, termasuk Ngusabha, adalah bagian dari menjaga keteraturan kosmik.
Dimensi Teologis
Secara teologis, Ngusabha merupakan wujud bhakti kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dalam Bhagavadgītā IX.26 disebutkan:
“Apabila seseorang dengan tulus mempersembahkan kepada-Ku daun, bunga, buah, atau air, maka Aku akan menerimanya.”
Makna sloka ini tercermin jelas dalam praktik Ngusabha. Sesajen yang sederhana seperti bunga, buah, atau padi dipersembahkan dengan penuh ketulusan, dan diyakini diterima oleh Tuhan. Bagi masyarakat Bali, inti dari yadnya bukan terletak pada kemewahan persembahan, melainkan pada ketulusan hati (sraddha dan bhakti).
Dimensi Sosial
Ngusabha bukan hanya peristiwa religius, melainkan juga forum sosial yang mempertemukan seluruh warga desa. Semua orang, tanpa memandang status sosial, terlibat dalam kegiatan ini. Ada yang menyiapkan banten, ada yang memimpin doa, ada pula yang bertugas mengatur jalannya upacara. Inilah manifestasi ajaran Weda tentang dharma (kewajiban moral) yang dijalankan bersama-sama.
Selain itu, Ngusabha berfungsi sebagai pendidikan nonformal. Anak-anak dan remaja yang ikut serta belajar cara membuat banten, memahami doa-doa, serta menyerap nilai-nilai kebersamaan. Dengan demikian, Ngusabha menjadi wahana pewarisan ajaran agama sekaligus pembentukan karakter generasi muda.
Dimensi Ekologis
Aspek ekologis dalam Ngusabha terlihat paling jelas dalam Ngusabha Nini. Melalui penghormatan kepada padi dan Dewi Sri, masyarakat mengungkapkan kesadaran bahwa alam adalah sumber kehidupan yang harus dijaga. Dalam Atharvaveda XII.1, bumi disebut sebagai ibu yang melahirkan segala sesuatu. Dari bumi manusia memperoleh makanan, tempat tinggal, dan sumber penghidupan. Karena itu, manusia wajib memperlakukan bumi dengan hormat.
Tradisi Ngusabha mengingatkan masyarakat untuk tidak merusak alam. Dengan memuliakan padi, air, dan tanah, masyarakat Bali menjaga hubungan harmonis dengan lingkungan. Hal ini sejalan dengan ajaran Weda tentang ṛta, yaitu keteraturan kosmik yang harus dipelihara agar dunia tetap seimbang.
Ngusabha dan Tri Hita Karana
Bila dilihat dari perspektif filosofi lokal Bali, pelaksanaan Ngusabha dapat dipahami sebagai realisasi konsep Tri Hita Karana:
- Parhyangan (hubungan dengan Tuhan) – diwujudkan dalam doa, sesajen, dan tarian suci yang dipersembahkan di pura desa.
- Pawongan (hubungan dengan sesama manusia) – tampak dari keterlibatan kolektif seluruh warga dalam gotong royong, yang memperkuat rasa solidaritas dan kebersamaan.
- Palemahan (hubungan dengan alam) – hadir dalam penghormatan terhadap tanah, air, dan padi dalam upacara Ngusabha Nini.
Dengan demikian, Ngusabha adalah praktik hidup dari filosofi yang mengakar dalam ajaran Weda, diterjemahkan dalam bahasa budaya Bali.
Tantangan Zaman Modern
Di era modern, pelaksanaan Ngusabha menghadapi tantangan yang cukup besar. Globalisasi dan pariwisata membuat sebagian masyarakat lebih menekankan sisi atraktif upacara dibanding makna spiritualnya. Generasi muda kadang kurang memahami filosofi di balik ritual, sehingga Ngusabha berpotensi dipandang hanya sebagai kewajiban adat, bukan pengamalan ajaran Weda.
Selain itu, perubahan lingkungan juga memberi tantangan tersendiri. Alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan wisata atau perumahan mengancam keberlangsungan subak, yang berarti juga mengancam keberlangsungan Ngusabha Nini. Padahal, Ngusabha Nini tidak hanya ritual, tetapi juga pernyataan ekologis tentang pentingnya menjaga kesuburan tanah dan air.Namun demikian, keberadaan Ngusabha tetap relevan. Ia menjadi pengingat kolektif akan pentingnya menjaga keseimbangan hidup, sekaligus sarana untuk terus menghidupkan ajaran Weda di tengah perubahan zaman.