
I Wayan Titra Gunawijaya
akademisi STAHN Mpu Kuturan Singaraja
Di mata banyak orang, agama Hindu seringkali identik dengan upacara yang meriah, sesajen yang berlimpah, serta prosesi keagamaan yang megah. Gambaran itu terlihat jelas, terutama di Bali, ketika umat melaksanakan upacara odalan, ngaben, metatah, atau ritual besar lainnya. Tidak jarang muncul anggapan bahwa menjadi umat Hindu berarti harus siap mengeluarkan biaya besar untuk beragama. Namun, jika kita menelusuri lebih dalam ajaran Hindu, sebenarnya persepsi itu tidak sepenuhnya benar. Sesungguhnya, ritual agama Hindu tidaklah mahal. Yang terpenting dalam ritual adalah ketulusan hati, kesadaran spiritual, dan pemaknaan terhadap yajna, bukan jumlah materi yang dipersembahkan.
Sejak dahulu, Hindu mengajarkan konsep yajna sebagai inti pengabdian kepada Tuhan. Yajna berarti persembahan suci, dilakukan dengan penuh ketulusan. Bentuk yajna bisa sangat sederhana, bahkan hanya berupa sehelai daun, sekuntum bunga, atau seteguk air. Hal ini ditegaskan dalam Bhagavadgita IX.26: “Patram pushpam phalam toyam, yo me bhaktyā prayacchati; tad aham bhakty-upahṛtam, aśnāmi prayatātmanaḥ.” Artinya, apabila seseorang mempersembahkan kepada Tuhan sehelai daun, sekuntum bunga, sebiji buah, atau seteguk air dengan penuh bhakti, maka persembahan itu akan diterima. Sloka ini jelas menunjukkan bahwa ukuran yajna tidak ditentukan oleh besarnya biaya, melainkan oleh ketulusan dan cinta kasih dalam hati.
Dalam kehidupan sehari-hari umat Hindu di Bali, ajaran ini sebenarnya masih tampak jelas. Setiap pagi, hampir di setiap rumah tangga, terlihat ibu-ibu menyiapkan canang sari. Sebuah canang biasanya terdiri dari janur, bunga, sedikit beras, dan dupa. Sesuatu yang sangat sederhana, namun penuh makna. Ketika canang itu dihaturkan, umat menyampaikan rasa syukur atas kehidupan, memohon perlindungan, serta menjaga keharmonisan dengan alam. Nilai spiritual dari sebuah canang sari yang sederhana sama besarnya dengan upacara besar, karena keduanya berangkat dari rasa bhakti.
Tradisi Bali juga mengenal tingkatan yajna, yakni nista, madya, dan utama. Tingkatan ini memberikan fleksibilitas kepada umat. Jika seseorang hanya mampu melaksanakan yajna secara sederhana, maka yajna dalam tingkat kanista sudah sah. Jika ada kemampuan lebih, boleh dilakukan pada tingkat madya atau utama. Tidak ada paksaan bahwa setiap orang harus melaksanakan upacara besar. Lontar Yajna Prakerti menjelaskan bahwa yajna bisa dilakukan sesuai kemampuan. Bahkan jika seseorang hanya mampu menghaturkan sebutir nasi dengan bunga, itu pun sudah cukup, asalkan dilakukan dengan tulus.
Namun, dalam praktik sosial, sering kali terjadi penyimpangan pemaknaan. Sebagian masyarakat merasa bahwa upacara harus megah agar terlihat pantas. Ada pula dorongan sosial, di mana gengsi dan status menjadi faktor penting. Misalnya, dalam upacara ngaben individu, biaya bisa membengkak hingga ratusan juta rupiah, karena keluarga merasa harus menyediakan upakara besar, gamelan, hingga hiburan untuk masyarakat. Padahal, Hindu sebenarnya sudah memberikan solusi melalui upacara massal. Ngaben massal misalnya, memungkinkan umat melaksanakan kewajiban leluhur dengan biaya jauh lebih ringan, karena ditanggung bersama-sama. Demikian pula dengan metatah massal, yang kini semakin sering diadakan oleh desa adat atau yayasan.
Persepsi bahwa “beragama Hindu itu mahal” lebih banyak lahir dari budaya gengsi, bukan dari ajaran Hindu. Jika seseorang benar-benar memahami makna yajna, ia akan sadar bahwa Tuhan tidak menilai banyaknya uang yang dikeluarkan, melainkan ketulusan hati. Hal ini juga ditegaskan dalam Bhagavadgita XVII.11: “Aphala-kāṅkṣibhir yajño, vidhi-dṛṣṭo ya ijyate, yaṣṭavyam eveti manaḥ, samādhāya sa sāttvikaḥ.” Artinya, yajna yang dilakukan tanpa pamrih, semata-mata sebagai kewajiban, itulah yajna yang luhur.
Ritual sederhana justru memiliki kedalaman spiritual yang luar biasa. Contohnya adalah mebanten saiban, yaitu tradisi menghaturkan sedikit makanan ke pelinggih keluarga sebelum makan. Ritual ini sederhana, tetapi mengajarkan kesadaran bahwa segala makanan berasal dari Tuhan, dan manusia wajib berbagi dengan makhluk lain. Begitu pula saat umat menghaturkan canang kecil di jalan, di pohon, atau di pelinggih rumah. Mungkin terlihat sederhana, bahkan sepele, tetapi sesungguhnya mengandung pesan bahwa manusia harus menjaga keseimbangan dengan alam dan roh-roh yang bersemayam di sekitarnya.
Kekuatan ritual Hindu terletak pada simbol dan makna. Janur melambangkan kesucian, bunga melambangkan ketulusan, beras melambangkan sumber kehidupan. Semua bahan itu sederhana dan mudah ditemukan di sekitar. Dengan pemahaman simbolis ini, kita semakin mengerti bahwa mahal atau murahnya sebuah upakara hanyalah persoalan teknis. Esensi ritual tidak pernah terletak pada besar kecilnya materi.
Lontar-lontar Bali juga menekankan pentingnya kesederhanaan. Dalam Lontar Yajna Prakerti disebutkan bahwa yajna sebaiknya dilakukan sesuai dengan kemampuan. Jika dipaksakan berlebihan, justru akan menimbulkan penderitaan bagi keluarga. Prinsip keseimbangan (rwa bhineda) harus dijaga. Kehidupan tidak boleh berat sebelah hanya karena keinginan membuat upacara megah. Dalam Manawa Dharmasastra III.70 juga ditegaskan bahwa yajna adalah perwujudan Tuhan, dan karenanya harus dilakukan dengan penuh kesadaran, bukan untuk pamer atau mencari pujian.
Jika kita kembali kepada inti ajaran, jelas bahwa agama Hindu sangat menghargai keikhlasan. Bahkan persembahan paling sederhana akan diterima jika dilakukan dengan hati yang bersih. Hal ini sekaligus membantah anggapan bahwa umat Hindu harus mengeluarkan biaya besar untuk beragama. Yang membuat ritual terlihat mahal adalah pilihan masyarakat sendiri. Jika mereka memilih membuat upacara besar, itu adalah kehendak pribadi, bukan kewajiban agama.
Transformasi pemahaman inilah yang kini perlu digerakkan. Umat Hindu harus diarahkan untuk kembali pada esensi ritual. Penyuluh agama, tokoh adat, dan pemuka spiritual perlu terus menyampaikan pesan bahwa yajna tidak harus mewah. Upacara massal, gotong royong, dan kebersamaan adalah solusi yang sangat relevan. Dengan begitu, umat tidak merasa terbebani, dan agama Hindu akan tetap menjadi sumber kebahagiaan, bukan tekanan.
Dengan menyadari bahwa ritual Hindu tidak mahal, umat akan lebih tenang dan ikhlas dalam beragama. Tidak ada lagi kekhawatiran soal biaya, karena setiap orang bebas menyesuaikan upacaranya dengan kemampuan. Tuhan akan menerima semua persembahan, sekecil apapun, selama dilakukan dengan penuh bhakti. Seperti daun, bunga, buah, atau air yang disebut dalam Bhagavadgita, persembahan sederhana itulah yang sejatinya paling murni.
Maka, pada akhirnya, ritual agama Hindu sesungguhnya adalah sebuah jalan spiritual, bukan beban ekonomi. Ia adalah sarana untuk menyatu dengan Tuhan, menjaga keharmonisan dengan alam, serta memperkuat ikatan dengan sesama manusia. Selama dilakukan dengan hati yang tulus, ritual sekecil apapun memiliki makna yang sama mulianya dengan upacara besar. Oleh karena itu, tidak ada alasan lagi untuk mengatakan bahwa beragama Hindu itu mahal. Yang ada hanyalah kesadaran bahwa setiap persembahan, sekecil apapun, jika dilakukan dengan cinta dan bhakti, akan selalu bernilai suci.